Kamis, 08 Januari 2009

Mijil yg Romantis

Masihkah kamu ingat saat masih sekolah SMP dulu? Entah tiba-tiba ada yang menarikku ke masa lalu ketika kujumpai sebuah novel karya Imam Budhi Santosa "Dorodasih". Ingatan masa lalu itu bukan didorongkan dari novel itu, tapi tembang "Mijil" yang nampil di cover belakangnya. Begini syairnya:

Dedalane guna lawan sekti…kudu andhap asor…
Wani ngalah luhur wekasane…
tumungkula yen dipun dukani
Bapang den simpangi…ana catur mungkur…

Artinya:
untuk mencapai kemuliaan, harus rendah hati
mengalah untuk menang…
mau menerima nasehat,
menghindari perselisihan dan tidak menyebar fitnah

Tembang Mijil, konon gubahan Sunan nyentrik asal Tuban yang belakangan berdomisili di Demak: Kalijaga. Kenapa, lewat tembang filosofis itu, aku jadi teringat masa SMP-ku dulu? Pelajaran Bahasa Jawa waktu itu selalu mematerikan ujian menyanyikan 'tembang Jawa'. Hampir lagu pilihan-bebasku tak lain lagu "Mijil" itu. Selain mudah diingat, nadanya juga taka sing-asing banget di telinga. Selain itu….

Indah banget maknanya! Ngomong-ngomong soal makna, ternyata baru belakangan aku bisa merabanya. Coba pikir, seandainya memang dunia mau membumikan ajaran filosofis a la Jawa itu, tak perlu asap mesiu membumbung tinggi di bumi Palestine… Bukan begitu, Bro? Yups! Tapi sayang…hampir rendah hati menjadi 'ethos minor' dalam kancah modernisasi dunia. Sekalipun imperialisme kuno telah lewat, ethos itu tetap tinggal di lorong-lorong mimpi para bijak-bestari.

Sayangnya, orang-orang pinter lebih memilih jadi kemaruk, emang pinter cari duit, tapi tak pernah mereka bersikap bijak karena berpikir tentang kebijaksanaan pun tak sempat. Jaman ini kian runyam ketika banyak orang pinter tanpa satu pun dari mereka yang bijak.

Dalam dunia yang tak pernah beringsut dan terus melesat, manusia tak punya pilihan apa-apa selain menyesuaikan diri dengan mobilitasnya. Suasananya hampir mirip perang, meski faktanya damai-damai saja. Jika dalam damai, kita seperti sedang berperang, perselisihan mudah sekali disulut. Di balik damai kehidupan, ada perang. Dan di balik perang hanya ada satu keadaan: berantakan. Jadi mudah saja kalau mau bikin kiamat sendiri: tinggal ambil "bensin", siramkan dan Blupppp! Terbakar sudah segalanya!

Sementara itu…menyebar fitnah hampir telah menjadi profesi, karena keluwesan dan keleluasaan dalam berkesempatan hanya dimungkinkan ketika musuh sedang kalang kabut. Itulah kondisi yang senantiasa dikonstruk oleh para penyebar fitnah. Faktanya, dengan ukuran ethos yang 'hitam kelihatan putih, putih kelihatan hitam', orang baik-baik bahkan wajar jika beretika dalam rupa penyebar fitnah.

Berkenaan dengan nyebar fitnah, pernah aku diteror dengan beberapa sms kasar dan moso Olohhhh…! Kupikir pengirimnya bukan manusia lagi. Terbayang, sosoknya berbulu, mata merah menyala dan penuh geram, memaki-maki seolah hanya dia yang berhak memaki. Terornya berlapis fitnah. Inikah hadiah tahun baru buatku? Ampyunnn!! Dan sikapnya persis Israel saat ini: angkuh dan merasa benar dalam tindakannya.

Dus…kemuliaan macam apa yang masih layak disematkan pada anak cucu Adam ini? Gedubrakkkk!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar