Senin, 15 Desember 2008

kembali [.......]

Setiap yang pergi akan kembali...kembali pada yang tak pernah dijumpai. Bagaimana kau menyebut rumahmu adalah kediaman-lamamu jika yang kau sambangi kini bukan lagi yang saat kau tinggalkan dulu? Setiap yang pergi akan kembali pada tempat baru.

Kembali pada asal. Dulu kau meninggalkannya untuk mencari sesuatu. Barangkali kau tak pernah benar-benar menemukannya. Tapi engkau telah kembali pada cahaya. Seperti namamu "Aida Hidayah." Setiap mengeja namamu, ada sejumput harapan pada hatiku. Akankah manusia kembali? Kembali dan pergi. Pergi untuk menemukan hal baru, lalu kembali setelah itu.

Berkali-kali aku berpikir, manusia tak bisa kembali pada tempatnya semula. Di mana dan kapan pun, manusia berakhir pada penghabisannya sendiri. Aku telah pergi dari masa laluku, menuju pada sesuatu yang letaknya ada disana, jauh di masa depan. Tidak ada kata 'kembali' untuk manusia. Tapi namamu seperti menyimpan pundi-pundi makna: kembali (pada) cahaya, petunjuk: seperti api di gelap malam yang ditemui Musa. Api itu lalu berbicara, menyampaikan firman dari Jagad Nirvana.

Barangkali 'kembali' berarti menemukan api di gelap malam: sumber pencahayaan untuk manusia. Saat pergi, kita tak membawa selain diri sendiri. Tapi kemudian malam kian larut, lalu kita tak bisa tidak memerlukan cahaya. Seperti namamu, kita memang harus kembali pada petunjuk, kembali pada api yang muncul saat kita terbentur-bentur dalam gelap, dalam perjalanan.

Hidayah tidak berada pada masa lalu. Hidayah muncul saat kita dalam proses pencarian. Jika hidayah muncul, seperti api dalam gelap malam itu, selalu ia adalah untuk kita, untuk si pencarinya. Itulah engkau. Kembali pada hidayah adalah kembali pada diri sendiri, karena setiap hidayah adalah ruh: ia merasuki seseorang, membuatnya tak mampu menolaknya. Mungkinkah seseorang menolak eksistensinya? Takkan mungkin…

Kembali pada hidayah berada pada satu moment dengan kembali pada diri sendiri. Api itu adalah api yang hanya Musa berbicara padanya. Hidayah selalu hidayah untukku, untukmu, untuk seorang pribadi. Tidak pernah ada satu hidayah untuk sekerumunan orang.

Seperti An-Nifari. Ia seorang sufi. Dalam kitabnya yang agung "al-Mawaqif", dia selalu membuka setiap fasalnya dengan "Tuhan-ku berkata", "Tuhan-ku memposisikan-ku", "Tuhan-ku menitahkan pada-ku". Berlembar-lembar sudah dia menuliskan hidayah-pribadi-nya, dan tak seorang pun mampu mengklaim hidayah itu adalah hidayahnya juga. Hidayah selalu milik seseorang, dan hanya dia pribadi seorang. Hidayah itu adalah diri kita sendiri.

Aku ingin menjadi dirimu. Menjadi dirimu berarti menjadi momen kembalinya sesuatu pada wujudnya yang lain, yang baru. Seperti namamu, kembali selalu tersituasikan dalam kembalinya seseorang pada dirinya sendiri. Dan aku tahu, kau pasti memiliki super-ego yang tak mudah diidentifikasikan.

"Aida Hidayah"-mu itu barangkali sulit untuk dikembalikan pada sesuatu/seseorang di luar dirimu, termasuk aku. Aku ingin menyentuhmu, dengan segenap kasih yang dianugerahkan Tuhanku untukku padamu. Aku ingin menggapaimu, tapi kau jauh. Barangkali aku hanya bisa merasakan dekatmu dalam hatiku. Di dalam hatilah segalanya menjadi dekat. Kuberharap engaku miliki juga hati seperti yang kupunyai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar