Rabu, 31 Desember 2008

metafor

Masalah gedÉ itu apa? Kalo aku boleh jawab, mngacu ke pngalamanku sndiri, masalah gedÉ itu masalah gimana caranya menjawab pertanyaan orang dengan bahasa yang bisa dipahaminya. Lho kok? Ada kalanya memang bahasa mencerminkan cara/jalan pikir seseorang…bahasa Inggris mencerminkan cara berpikir orang-orang Anglo-saxon, sedemikian berbeda strukturnya dengan bahasa Jerman. Semisal, kata "internet" tidak ada padanannya dalam bahasa Jawa karena internet tidak lahir dari konteks kultur Jawa: tak muncul awal mula dari imajinasinya orang Jawa.

Singkat cerita, seorang kawan menanyaiku: apa maksud kata-kata Nietzshe "tuhan telah mati?" (kata "tuhan" sengaja kutulis dengan "t" kecil, maksudnya biar orang-orang beragama gak keburu sakit ati). Aku tertegun. Dalam pikiranku, sedikit paham aku tentang filsuf Jerman yang dituduh gila itu. Tapi masalahnya bagaimana menjelaskannya ke orang lain? Tentunya aku tak ingin (1) tanpa sengaja menyalahi pikiran Nietzsche, dalam artian menafsirkan seenaknya dan (2) membuat dia berpikiran buruk terhadap/tentang Nietzsche.

Waduwwwhh…masalahnya jadi berlapis-lapis donk? Ya! Kupikir ini menuntut kehati-hatian dan tidak sembarangan dalam menjawab pertanyaan singkat (tapi butuh jawaban yang tak sederhana) itu. Kekhawatiran pertamaku ada kaitannya dengan kecenderungan orang untuk mengambil inspirasi secara keliru, atau menyalahgunakan, pikiran Nietzsche untuk menjustifikasi tindakan-tindakan ngawurnya. Ini karena konsep "the will to power" (kehendak untuk berkuasa) telah di-monopoli-tafsir-kan oleh Hitler untuk proyek chauvinism Jerman.

Kekhawatiranku yang kedua terkait dengan banyaknya orang menilai dia filsuf ateis dan semua orang ateis harus dihapuskan (pikiran2nya) dari muka bumi. Ini sudah jadi komitmen khalayak umum orang-orang yang masih beragama. Padahal Iqbal dalam bukunya Javid Nama menulis, dengan meminjam sosok Jalaluddin Rumi, "dia (Nietzshe) orang bijak dari Jerman." Memang semua orang punya sisi negatif dan positifnya sekaligus. Tapi sayangnya orang hampir selalu terbawa untuk bersikap tak adil dan a-proporsional setiap kali denger nama Nietzshe. Tau sendiri, Nietzsche meninggal pas bertepatan dengan awal abad 20: pikiran filosofisnya mengawali genre filsafat kontemporer (filsafat pasca modern).

….gini Brow....ungkapan seperti itu bukan ungkapan bahasa sehari-hari. Itu ungkapan tak biasa atau extra-ordinary yang karakteristiknya metaforis. So, perlu ditafsirkan dengan cara yang tak sederhana. Tidak semua ungkapan dipahami clear begitu saja seperti saat kita bilang 'geist sedang menulis', karena bisa jadi ungkapan metaforis itu hasil imajinasi tentang sesuatu yang asing, yang aneh dan tak sempat dipikirkan orang…

Kawanku manggut-manggut. Entah apa maksudnya: mungkin dia sedang merasa perlu mengubah pertanyaannya atau jangan-jangan dia masih gak nyambung dengan stimulus yang kuberikan itu. Kuharap, dengan memperkenalkan padanya unsur-unsur metaforis dari suatu pernyataan aneh, dia tidak menganggap kalimat itu menggunakan "sistem bahasa logis yang ketat". Dengan begitu dia tidak bisa memaksakan suatu pemahaman logis-ketat untuk mengungkap makna "tuhan sudah mati" secara serampangan.

Maksudku, terkadang kita menghadapi ungkapan-ungkapan yang tak bisa ditelan begitu saja dan tidak selamanya argumentatif sifatnya. Pada momen tertentu bahkan terkadang kalimat tidak tersusun di atas lembaran pengertian yang selama ini menumpuk di pikiran kita. Ada kalanya imajinasi mengajak kita keluar dari frame-frame yang mengkerangkai cara berpikir kita. Simple-nya, metafora merupakan upaya seorang pemikir untuk keluar dari wilayah kekuasaan logika ketat. Wewwww…apaan tuh?

So, apa jawaban dari pertanyaan di atas? Lhoooo…tulisan ini bukan cerita tentang apa jawabanku untuk kawanku tadi kok. Tulisan ini sekadar menceritakan kenapa kita perlu meluruskan dulu suatu pertanyaan sebelum kita menjawabnya. Nietzshe? Baca sendiri donk…!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar